Kebeningan Hati
Biasa Ala Orang yang
Berilmu
Orang berilmu berarti orang
yang banyak ilmunya;
berpengetahuan; pandai. Dengan
ilmu, seseorang akan diberi
cahaya dalam hidupnya. Ilmu
laksana obor dalam kegelapan. Di
sinilah, pentingnya ilmu dalam
hidup manusia. Sehingga, pantas
saja Rasulullah saw bersabda,
"Menuntut ilmu itu wajib atas
setiap Muslim laki-laki dan
perempuan."
Perilaku biasa ala orang berilmu,
tentu akan berbeda dengan
orang yang tak berilmu. Allah
berfirman, "Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang
beriman diantara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat."
(QS. Al-Mujadillah: 11),
Imam Al Ghazali dalam
Mukhtasar Ihya' Ulumuddin,
mengungkapkan bahwa derajat
itu tergantung pada dekat dan
jauhnya ilmu itu dari akherat
(baca: ilmu agama Islam-Pen).
Sebagaimana ilmu-ilmu syar'iyah
mengungguli ilmu-ilmu lainnya,
ilmu yang berkaitan dengan
hakikat hukum-hukum syar'iyah
mengungguli ilmu yang berkaitan
dengan hukum-hukum dhahir.
Orang yang faqih memutuskan
berdasarkan dhahirnya, apakah
hukumnya sah atau tidak, dan
dibalik itu terdapat ilmu untuk
mengetahui apakah ibadah
diterima atau ditolak. Inilah
perilaku biasa ala orang yang
berilmu (ilmu-ilmu kesufian).
Adalah Ahmad bin Yahya berkata,
"Pada suatu hari Asy Syafi'i
keluar dari pasar yang menjual
lampu-lampu. Kemudian kami
mengikutinya. Tiba-tiba ada
seorang laki-laki yang mencela
seorang laki-laki ahli ilmu."
Kemudian Asy-Syafi'i menoleh
kepada kami seraya berkata,
"Bersihkan pendengaran kalian
dari mendengarkan omongan
yang keji sebagaimana kalian
membersihkan lidahmu dari
mengucapkannya, karena
pendengar itu bersekutu dengan
orang yang mengucapkannya."
Lebih jauh dari itu, biasa ala
orang berilmu, maka ia akan
memposisikan ilmunya semata-
mata hanya dari Allah. Dan
semakin banyak mereka
menimba ilmu, hati kecilnya akan
berkata, "Maha Besar ilmu Allah
itu!" Hal ini seperti terungkap
dalam QS. Al Israa': 60, "….
Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu
meliputi segala manusia …."
Jadi, biasa ala orang berilmu, ia
tidak akan menjadi sombong,
riya dan takabur dengan ilmu
yang dimilikinya. Tapi, justru
akan berusaha mengamalkan
ilmunya dan sebagai sarana
berbuat baik kepada sebanyak-
banyaknya manusia.
Asy-Syafi'i berkata, "Seorang
bijak menulis surat kepada
seorang bijak." Ia berkata,
"Engkau telah diberi ilmu, maka
jangan kotori ilmumu dengan
kegelapan dosa-dosa sehingga
engkau tetap dalam kegelapan
disaat ahli ilmu diterangi oleh
cahaya ilmu mereka."
Secara demikian, biasa ala orang
berilmu akan membatasi dirinya
dalam memberikan informasi
dengan cara tidak menyampaikan
sesuatu di luar jangkauan akal
lawan bicaranya. Hal ini seirama
dengan sabda Rasulullah saw,
"Kami –para Nabi—diperintahkan
agar memperlakukan manusia
sesuai dengan kedudukannya dan
berbicara kepada mereka sesuai
dengan kemampuan akalnya,"
dan "Apabila seseorang itu
berbicara dengan orang lain
dengan bahan pembicaraan yang
berada diluar kemampuan
akalnya berarti ia telah
menyebarkan fitnah kepada
sesamanya."
Dalam bahasa lain, Imam Malik
bin Anas mengungkapkan, "Tidak
pantas bagi seseorang alim
berbicara tentang sesuatu ilmu
di hadapan orang yang tidak
mampu memikirkannya, sebab
yang demikian itu sama artinya
dengan merendahkan dan
menghinakan derajat ilmu itu
sendiri."
Sesungguhnya orang-orang
berilmu tidak akan memuji-muji
dirinya sendiri, karena apabila
seseorang telah memuji-muji
dirinya, maka lenyaplah
wibawanya. Ilmu itu bukanlah
diukur dari banyaknya riwayat
yang disampaikan seseorang,
tetapi ia merupakan cahaya yang
ditempatkan Allah dalam
kalbunya. Betapa enaknya, bila
kita mampu bersikap biasa ala
orang berilmu seperti itu!